Mengasah Kepekaan Hati dan Kepedulian Kita

Leave a Comment

Hari ini saya mendapat sebuah tautan (link) dari seorang teman di akun FB saya. Ya, tautan yang tiba-tiba saja menjadikan air mata saya keluar tanpa saya sadari. Benar, tidak bohong. Jangankan membaca kisah di dalam tautan itu, melihat film Bollywood dengan kisah yang menyentuh saja (seperti misalnya Veer Zaara) sudah cukup mampu menjadikan saya berlinangan air mata. Mungkin terdengar lebay, tapi itulah saya. Saya seorang penyuka film-film India dan seringkali bisa menangis ketika kisah di dalam film tersebut menyentuh hati saya.

Tapi bukan tentang film itu yang akan saya sampaikan di sini. Melainkan sebuah kisa yang sangat menyentuh nurani saya. Ya, kisah yang sangat mengharukan yang di-share oleh salah seorang teman saya di FB. Terlepas dari benar atau tidaknya kisah ini, hanya Allah yang Maha Tahu kebenarannya. Yang pasti satu hal yang sangat bisa saya ambil adalah, betapa sering kita menganggap remeh hal-hal kecil yang seringkali itu bagi kita tiada nilainya, tapi bagi mereka yang membutuhkan akan sangat besar maknanya.

Semoga kisah ini bisa menyadarkan kita dan menjadikan peka nurani kita.

Hari ini sesosok wanita tua mengetuk pintu kaca toko.
“Bu… Beli kue saya… Belum laku satupun… Kalau saya sudah ada yang laku saya enggak berani ketuk kaca toko ibu…”
Saya persilakan beliau masuk dan duduk.
Segelas air dan beberapa butir kurma saya sajikan untuk beliau.
“Ibu bawa kue apa?”
“Gemblong, getuk, bintul, gembleng, Bu.”
Saya tersenyum…
“Saya nanti beli kue ibu… Tapi ibu duduk dulu, minum dulu, istirahat dulu, muka ibu sudah pucat.”
Dia mengangguk.

“Kepala saya sakit, Bu.. Pusing, tapi harus cari uang. Anak saya sakit, suami saya sakit, di rumah hari ini beras udah gak ada sama sekali. Makanya saya paksain jualan,” katanya sambil memegang keningnya.
Air matanya mulai jatuh.
Saya cuma bisa memberinya sehelai tisu…

“Sekarang makan makin susah, Bu…. Kemarin aja beras gak kebeli… Apalagi sekarang… Katanya bensin naik.. Apa-apa serba naik.. Saya udah 3 bulan cuma bisa bikin bubur… Kalau masak nasi gak cukup. Hari ini jualan gak laku, nawarin orang katanya gak jajan dulu. Apa apa pada mahal katanya uang belanjanya pada enggak cukup…”
“Anak ibu sakit apa?” Saya bertanya.
“Gak tau, Bu… Batuknya berdarah…”
Saya terpana.

“Ibu, Ibu harus bawa anak Ibu ke puskesmas. Kan ada BPJS…”
Dia cuma tertunduk.
“Saya bawa anak saya pakai apa, Bu? Gendong gak kuat.. .Jalannya jauh… Naik ojek gak punya uang…”
“Ini Ibu kue bikin sendiri?”
“Enggak, Bu… Ini saya ngambil.” jawabnya.
“Terus ibu penghasilannya dari sini aja?”
Dia mengangguk lemah…

“Berapa Ibu dapet setiap hari?”
“Gak pasti, Bu… Ini kue untungnya 100-300 perak, bisa dapet Rp4 ribu -12 ribu paling banyak.”
Kali ini air mata saya yang mulai mengalir.
“Ibu pulang jam berapa jualan?”
“Jam 2.. .Saya gak bisa lama lama, Bu.. Soalnya uangnya buat beli beras… Suami sama anak saya belum makan. Saya gak mau minta-minta, saya gak mau nyusahin orang.”
“Ibu, kue-kue ini tolong ibu bagi-bagi di jalan, ini beli beras buat 1 bulan, ini buat 10x bulak-balik naik ojek bawa anak Ibu berobat, ini buat modal ibu jualan sendiri. Ibu sekarang pulang saja… Bawa kurma ini buat pengganjal lapar…”

Ibu itu menangis…
Dia pindah dari kursi ke lantai, dia bersujud tak sepatah katapun keluar lalu dia kembalikan uang saya.
“Kalau ibu mau beli.. Beli lah kue saya. Tapi selebihnya enggak bu… Saya malu….”
Saya pegang erat tangannya…
“Ibu… Ini bukan buat ibu… Tapi buat ibu saya… Saya melakukan bakti ini untuk ibu saya, agar dia merasa tidak sia-sia membesarkan dan mendidik saya… Tolong diterima…”

Saya bawa keranjang jualannya.
Saat itu aku memegang lengannya dan saya menyadari dia demam tinggi.
“Ibu pulang ya…”
Dia cuma bercucuran airmata lalu memeluk saya.
“Bu.. Saya gak mau ke sini lagi… Saya malu…. Ibu gak doyan kue jualan saya… Ibu cuma kasihan sama saya… Saya malu…”

Saya cuma bisa tersenyum.
“Ibu, saya doyan kue jualan Ibu, tapi saya kenyang… Sementara di luar pasti banyak yang lapar dan belum tentu punya makanan. Sekarang Ibu pulang yaa…”
Saya bimbing beliau menyeberang jalan, lalu saya naikkan angkot…
Beliau terus berurai air mata.
Lalu saya masuk lagi ke toko, membuka buka FB saya dan membaca status orang orang berduit yang menjijikan.

Mari kiya budayakan untuk berusaha semaksimal hidup kita, jangan mudah menadahkan tangan... memberi dengan bijak, membuat hidup lebih bermakna. Selama badan sanggup berdiri, kaki sanggup melangkah, pantanglah untuk berkeluh kesah dan mengasihani diri. Dan semoga dari kisah ini akan menjadikan hati dan perasaan kita lebih peka terhadap setiap gejala-gejala sosial di sekitar kita. Masih banyak saudara-saudara kita yang kondisinya lebih membutuhkan uluran tangan kita untuk mereka. Dan bisa jadi, rizki mereka sebenarnya dialirkan Allah swt melalui tangan-tangan kita.

Sumber: Ibu Ernydar Irfan dari link INI
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

Post Comment

0 comments:

Post a Comment

Translate