Meneladani KH. Abdurrahman Wahid ( Gus Dur ) dalam Mensikapi Perayaan Natal

Leave a Comment

Luar biasa... Saya kembali teringat ucapan beliau yang menyatakan "Peran agama yang sesungguhnya adalah membuat orang sadar akan fakta bahwa dirinya merupakan bagian dari umat manusia dan alam semesta." Lalu ada lagi pernyataan beliau yang sangat luar biasa menurut saya, "Agama itu mengajarkan pesan-pesan damai, dan ekstrimis memutar balikkannya.". Juga satu lagi yang sangat luar biasa. Pesan beliau yang sangat populer di masyarakat, yaitu sebuah kalimat pesan yang tersurat di dalam sebuah lagu "Syiir tanpo Waton" yang menurut saya adalah salah satu karya terbesar beliau, "Akeh kang apal quran hadise, seneng ngafirke marang liyane, kafire dewe dak digatekke, yen isih kotor ati akale." (Banyak orang yang hafal Al-Qur'an dan Al-Hadist, akan tetapi ujung-ujungnya malah menyalahkan dan mengkafirkan orang lain dn merasa paling benar, padahal kesalahan dan "kekafiran" diri mereka tidak mereka perhatikan, itu karena masih kotornya hati dan akal mereka.).

Dan sudah barang tentu, hal-hal seperti itu (menyalahkan, memgkafirkan, dan merasa paling benar) ujung-ujungnya akan menjadikan pertentangan dan perpecahan di masyarakat. Bukan saja antar umat beragama, bahkan di dalam internal agama pun rawan pecah dan konflik.

Maka sebuah pemikiran luar biasa ketika beliau, Gus Dur, mengungkapkan peikirannya mengenai perayaan natal dan bagaimana sikap kita dalam mensikapi perayaan Natal ini. Sebagai mana kita tahu, umat Islam terutama, ahir-ahir ini dibuat gerah oleh sekelompok umat Islam pula yang mempermasalahkan pemberian ucapan selamat Natal kepada saudara-saudara kita umat Nasrani. Mereka berpendapat haram hukumnya mengucapkan Natal.

Saya tidak menyalahkan pendapat yang demikian, karena ada juga ulama-ulama terdahulu kita yang melakukan hal ini (mengharamkan pemberian ucapan selamat Natal). Tentu saja dengan dalil-dalil yang shahih pula, serta yang patut kita perhatikan yaitu : konteks. Konteks ulama melarang pengucapan selamat Natal pada saat itu, seperti yang telah kita bahas kemarin di sini.

Bagi teman-teman yang memang berpendapat tidak membolehkan atau mengharamkan ucapan Natal ini, saya tidak menyalahkan. Hanya saja saya menyarankan untuk tidak menimbulkan suasana yang provokatif serta tidak menyalah-nyalahkan umat Islam yang memberikan ucapan selamat Natal kepada umat Nasrani. Karena ini juga boleh dan banyak juga ulama yang melakukannya.

Mari kita menjadi umat yang lebih bijak dan santun. Sumonggo... Barangkali apa yang disampaikan Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid ) ini bisa membuka hati dan pemikiran kita, untuk lebih bijak dan dewasa dalam beragama dan mensikapi keberagaman.

***

Gus Dur pernah menulis artikel di Koran Suara Pembaruan pada 20 Desember 2003 berjudul: Harlah, Natal dan Maulid. Menurut Gus Dur , kata Natal yang menurut arti bahasa sama dengan kata harlah (hari kelahiran), hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia mempunyai arti khusus, lain dari yang digunakan secara umum -seperti dalam bidang kedokteran ada istilah perawatan pre-natal yang berarti “perawatan sebelum kelahiran”.

Dengan demikian, maksud istilah ‘Natal’ adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh ‘perawan suci’ Maryam. Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia.

Sedangkan Maulid, Gus Dur menjelaskan, adalah saat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pertama kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi atau dalam dunia barat dikenal sebagai Saladin, dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi. Tujuannya untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam perang Salib (Crusade).

Dia memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, enam abad setelah Rasulullah wafat. Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa’ud melarangnya di Saudi Arabia. Karya-karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi dan prosa untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad itu.

Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan, dua kata (Natal dan Maulid) mempunyai makna khusus, dan tidak bisa disamakan. Dalam bahasa teori Hukum Islam (fiqh) kata Maulid dan Natal adalah “kata yang lebih sempit maksudnya, dari apa yang diucapkan” (yuqlaqu al’am wa yuradu bihi al-khash). Penyebabnya adalah asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan manusia yang beragam. Artinya jelas, Natal dipakai orang-orang Kristiani, sedangkan Maulid dipakai orang-orang Islam.

Menurut Gus Dur , Natal dalam kitab suci Al-Qur'an disebut sebagai “yauma wulida (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: “kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)” (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: “Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku” (al-salamu ‘alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa.

Bahwa kemudian Nabi Isa ‘dijadikan’ Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah masalah lain lagi. Artinya, secara tidak langsung Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur’an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan.

“Jika penulis ( Gus Dur ) merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau (Isa) dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT.”

Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan, “Menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. Penulis ( Gus Dur ) menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannya bersama-sama.”

Dalam litelatur fiqih, Gus Dur mengimbuhkan, jika seorang muslim duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan ganjalan bagi kaum muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan dianggap turut berkebaktian yang sama.

“Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan, sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk menghormati kelahiran Isa al-Masih.”

Sumber: Gemasaba.Org
Read More

Penjelasan Prof. M. Quraish Shihab tentang Ucapan Selamat Natal

Leave a Comment

"Saya duga keras persoalan ini hanya di Indonesia. Saya lama di Mesir. Saya kenal sekali. Saya baca di koran, ulama-ulama Al Azhar berkunjung kepada pimpinan umat kristiani mengucapkan selamat Natal.
Saya tahu persis ada ulama besar di Suriah memberi fatwa bahwa itu boleh. Fatwanya itu berada dalam satu buku dan bukunya itu diberikan pengantar oleh ulama besar lainnya, Yusuf al-Qaradawi, yang di Syria namanya (Syaikh) Mustafa Al Zarka’a. Ia mengatakan mengucapkan selamat Natal itu bagian dari basa-basi, hubungan baik.

Ini tidak mungkin menurut beliau, tidak mungkin teman-teman saya dari umat Kristiani datang mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri terus dilarang gitu.

Menurut beliau dalam bukunya yang ditulis bukan jawaban lisan ditulis, dia katakan, saya sekarang perlu menunjukkan kepada masyarakat dulu bahwa agama (Islam) ini penuh toleransi. Kalau tidak, kita umat (Islam) yang dituduh teroris. Itu pendapat.

Saya pernah menulis soal itu, walaupun banyak yang tidak setuju, saya katakan begini, saya (meng) ucapkan Natal itu artinya kelahiran. Nabi Isa mengucapkannya. Kalau kita baca ayat ini dan terjemahkan boleh atau tidak? Boleh. Ya toh? Boleh.

Jadi, kalau Anda mengucapkan selamat Natal, tapi keyakinan Anda bahwa Nabi Isa bukan Tuhan atau bukan anak Tuhan, maka tidak ada salahnya. Ucapkanlah selamat Natal dengan keyakinan seperti ini dan Anda kalau mengucapkannya sebagai muslim. Mengucapkan kepada umat kristiani yang paham, dia yakin bahwa anda tidak percaya.
Jadi yang dimaksud itu, seperti yang dimaksud tadi hanya basa-basi.

Saya tidak ingin berkata fatwa Majelis Ulama itu salah yang melarang, tetapi saya ingin tambahkan larangan itu terhadap orang awam yang tidak mengerti. Orang yang dikhawatirkan akidahnya rusak. Orang yang dikhawatirkan percaya bahwa Natal itu seperti sebagaimana kepercayaan umat kristen.

Untuk orang-orang yang paham, saya mengucapkan selamat Natal kepada teman-teman saya apakah pendeta. Dia yakin persis bahwa kepercayaan saya tidak seperti itu. Jadi, kita bisa mengucapkan.

Jadi ada yang berkata bahwa itu Anda bohong. Saya katakan agama membolehkan Anda mengucapkan suatu kata seperti apa yang anda yakini, tetapi memilih kata yang dipahami lain oleh mitra bicara Anda.

Saya beri contoh, Nabi Ibrahim dalam perjalanannya menuju suatu daerah menemukan atau mengetahui bahwa penguasa daerah itu mengambil perempuan yang cantik dengan syarat istri orang. Nah, dia punya penyakit jiwa. Dia ndak mau yang bukan istri orang.

Nabi Ibrahim ditahan sama istrinya Sarah. Ditanya, ini siapa? Nabi Ibrahim menjawab, ini saudaraku. Lepas.

Nabi Ibrahim tidak bohong. Maksudnya saudaraku seagama. Itu jalan. Jadi kita bisa saja. Kalau yang kita ucapkan kepadanya selamat Natal itu memahami Natal sesuai kepercatannya, saya mengucapkannya sesuai kepercayaan saya sehingga tidak bisa bertemu, tidak perlu bertengkar.
Jadi syaratnya boleh mengucapkannya asal akidah anda tidak ternodai. Itu dalam rangka basa-basi saja, seperti apa yang dikatakan ulama besar suriah itu.

Begitu juga dengan selamat ulang tahun, begitu juga dengan selamat tahun baru. Memang kalau kita merayakan tahun baru dengan foya-foya, itu yang terlarang foya-foyanya, bukan ucapan selamatnya kita kirim. Bahkan, ulama (Syaikh) Mustafa Al Zarka’a berkata, ada orang yang menjual ucapan, kartu-kartu ucapan ini, itu boleh saja, tidak usah dilarang. Penggunanya keliru kalau dia melanggar tuntunan agama.

Ada orang sangat ketat dan khawatir. Itu kekhawtiran wajar kalau orang di kampung, tidak mengerti agama. Lantas ada yang mengakan (mengakui) kelahiran Isa itu sebagai anak Tuhan dan sebagainya, itu yang tidak boleh. Kalau akidah kita tetap lurus, itu tidak ada masalah.

Kita ucapkan selamat Natal, di ayat kita ini (
Surah Maryam Ayat 30-38), sekian banyak ucapan selamat yang ditujukan para Nabi."

Sumber: DI SINI
Read More

Rais Syuriah PBNU KH Ahmad Ishomuddin : Mengucapkan Natal Itu Boleh...

Leave a Comment

Hukum mengucapkan selamat hari Natal bagi setiap muslim tidak bisa diseragamkan karena hukum suatu perbuatan bisa berbeda antara satu orang muslim dari orang muslim lainnya lantaran perbedaan keadaannya dan situasinya. Artinya, tidak mutlak haram. Menjadi berhukum boleh apabila diniatkan untuk menunjukkan keutamaan ajaran Islam dari sisi akhlak.

“Dan tidak diiringi keyakinan yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah, sedangkan ucapan tersebut ditujukan kepada orang yang memiliki kedekatan seperti saudara atau rekan bisnis yang juga menghormati umat Islam. Dalam situasi sebaliknya hukum mengucapkannya bisa berhukum haram,” kata Rais Syuriah PBNU KH Ahmad Ishomuddin kepada NU Online melalui surat elektronik, Sabtu (20/12).

Kiai asal Lampung ini berpandangan, mengucapkan selamat hari Natal bagi seorang muslim adalah persoalan ijtihadiyyah, karena tidak terdapat teks al-Qur'an maupun al-Hadits yang secara tegas melarangnya. Oleh karena itu, wajar jika kemudian masalah ini setiap masa menjadi objek perbedaan pendapat.

Pro-Kontra Ulama

Ia memaparkan, pada suatu masa ketika saling berperang antara sebagian umat Islam dan kaum Nasrani maka ulama menyepakati keharaman mengucapkan selamat hari Natal, seperti pada masa Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Sedangkan pada masa-masa damai di mana umat Islam dan non muslim hidup berdampingan saling menghormati maka wajar juga jika banyak fatwa yang menyatakan boleh sekadar mengucapkan selamat hari Natal.

Perbedaan pendapat hasil ijtihad di kalangan para ulama dalam persoalan tersebut tidak saling menggugurkan ijtihad ulama lainnya. Oleh karena itu, seorang muslim wajib mengedepankan akhlak yang mulia dengan menghormati pendapat ulama yang berbeda dari pendapatnya.

“Tidak perlu melontarkan pernyataan yang tidak santun kepada ulama lain saat tidak menyetujuinya karena merasa pendapatnya saja yang benar,” tutur Kiai Ishom di akun facebooknya, Selasa (16/12).

Sebagian ulama terdahulu seperti Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah melarang atau mengharamkan ucapan selamat hari Natal. Pendapat tersebut antara lain diikuti oleh tokoh-tokoh Wahhabi seperti al-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, al-Syaikh Utsaimin, al-Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Haqil dan lain-lain yang masing-masing memfatwakan keharamannya.

Mereka yang mengharamkannya, demikian Kiai Ishom, beralasan karena dengan mengucapkan selamat hari Natal berarti turut mensyi'arkan agama mereka, padahal Allah tidak meridlai para hamba-Nya yang kafir, sedangkan mengucapkan selamat hari Natal berarti tasyabbuh (menyerupai) orang-orang Nasrani yang hukumnya juga haram.

Sebaliknya sangat banyak ulama yang menyatakan hukum al-ibahah (kebolehan) mengucapkan selamat hari Natal dengan alasan antara lain karena tidak ada satupun dalil yang melarangnya dan sekedar mengucapkan selamat hari Natal itu bukan berarti mengakui kebenaran aqidah agama Nasrani yang berkonsekuensi membuat seorang muslim secara otamatis murtad (keluar dari agama Islam).

“Sebagaimana mereka yang beragama Nasrani juga tidak otomatis menjadi muslim saat sebagian mereka mengucapkan selamat berlebaran kepada umat Islam,” terangnya sembari menjelaskan bahwa mengucapkan selamat hari Natal kepada umat Nasrani itu termasuk dalam sikap saling berbuat kebaikan dalam pergaulan hidup bersama secara damai.

Menurutnya, seorang muslim berkewajiban untuk bersikap lebih santun dibandingkan dengan siapapun dari nonmuslim, karena yang demikian itu merupakan salah satu tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW, yakni untuk menyempurnakan akhlak. Allah juga telah memerintahkan kepada umat Islam agar mempergauli mereka dengan sebaik-baiknya

Kiai Ishom lalu mengutip penggalan surat al-Mumtahanah ayat 8 yang artinya, "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."

Yang terpenting harus dijaga bagi orang yang mengucapkan selamat hari Natal adalah perlunya berniat untuk menampakkan citra terbaik dari ajaran Islam kepada nonmuslim seperti kaum Nasrani dan tidak ikut serta dalam rangkaian kegiatan pada hari Natal yang bertentangan dengan aqidah islamiyyah.

“Saya mengimbau agar umat Islam maupun umat Nasrani dapat hidup berdampingan secara damai, saling hormat-menghormati sesuai batas ajaran agama masing-masing dan dalam konteks kehidupan berbangsa wajib menjaga persatuan dan menghindarkan segala sebab yang menimbulkan perpepecahan."


Kiai Ishom juga menyebut sejumlah nama ulama yang memperkenankan ucapan selamat hari Natal bagi seorang muslim, antara lain,
  1. al-Syaikh Muhammad Rasyid Ridla, 
  2. al-Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, 
  3. Prof. Dr. Abdussattar Fathullah Sa'id, 
  4. al-Syaikh Musthafa al-Zarqa', 
  5. Prof. Dr. Muhammad al-Sayyid Dusuqi, 
  6. al-Syaikh al-Syurbashi, 
  7. al-Syaikh Abdullah bin Bayyah, 
  8. al-Syaikh Farid Muhammad Washil, 
  9. al-Syaikh Ali Jum'ah, 
  10. dan lainnya.
“Bagi yang ingin meluaskan wawasan seputar masalah ini hendaknya berkenan membaca dengan cermat fatwa yang dikeluarkan baik oleh ulama yang mengharamkan maupun yang memperkenankan ucapan selamat hari Natal kepada kaum Nasrani,” pungkasnya.

Sumber : NU.OR.ID

***

Inilah yang perlu kita pahami bersama. Dalam hal keutamaan akhlak harus kita utamakan. Selama pengucapan selamat itu untuk tujuan kebaikan bermuamalah, serta tiada sedikitpun menggoyahkan aqidah kita, boleh. Apalagi ahir-ahir ini kita umat Islam dicitrakan sebagai umat yang keras, radikal, intoleran, dan (maaf) teroris. Tentu saja ini sangat memprihatinkan. Kalaupun ada di antara teman-teman yang berpendapat bahwa mengucapkan selaman natal kepada umat Nasrani itu haram, kiranya tidak lantas mencela mereka yang mengucapkan selamat natal kepada saudara-saudara kita umat Nasrani, apalagi jika langsung men-cap sebagai JIL, atau bahkan yang lebih parah jika sampai mengkafirkan. Mari kita lebih bijak dan lebih dewasa dalam beragama. :-)
Read More

Kita Ngaji Sejenak Yuuuukk..... ^_^

Leave a Comment


Masih saja ada segelintir orang yg mempertanyakan ketiadaan dalil atau praktek maulid Nabi Muhammad SAW oleh Nabi Muhammad SAW sendiri. Mereka beranggapan asal dari ibadah itu haram kecuali ada dalilnya. Perlu saya kupas sedikit bahwa ibadah mahdhah memang harus ada dalilnya tapi tidak demikian halnya dengan ibadah ghair mahdhah. Kita ngaji sejenak yuk ^_^

Ibadah Mahdhah, artinya murni hanya hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung. Ibadah bentuk ini memiliki 3 prinsip:
  1. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al-Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
  2. Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasulullah Muhammad SAW. Atas dasar ini, maka ditetapkan dengan syarat dan rukun yang ketat.
  3. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal). Artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’.
Contohnya shalat 5 waktu itu ibadah madhah. Kita tidak boleh mengubah gerakan atau menambah rakaatnya. Haji, sholat dan puasa juga demikian. Modifikasi atau tambahan terhadap ibadah madhah ini yang dianggap bid'ah. Sholat subuh jadi 4 rakaat itu bid'ah.

Selanjutnya adalah....
Selain ibadah madhah di atas ada yang disebut Ibadah Ghair Mahdhah yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya.

Termasuk ke dalam kategori ini setiap pekerjaan yang hukum asalnya Mubah (boleh) namun kemudian bisa bernilai ibadah bergantung pada tujuan dari pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Untuk jenis ini berlaku baginya kaidah:

“Asal dari segala sesuatu itu Mubah, sampai ada dalil yang menunjukkan atas keharamannya.”

Prinsip-prinsip dalam ibadah ghair mahdhah ini ada 3:

  1. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
  2. Tata-laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah”, atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan Rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
  3. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut akal sehat itu amalan yang buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dikerjakan.
Rumusan Ibadah Ghair Mahdhah adalah perbuatan baik dan diniatkan karena Allah. Contohnya: bekerja mencari nafkah, menuntut ilmu, memberi hadiah, membahagiakan tamu dan seterusnya itu termasuk ibadah ghair mahdhah yg tidak perlu mengikuti syarat dan rukun yang ketat. Fleksibilitas ibadah dalam Islam ada di sini. Modifikasi dan inovasi dibolehkan di wilayah ini. Mengkodifikasi Al-Qur'an di jaman Khalifah Umar dan Utsman masuk wilayah ini meski tidak ada dalil dan contohnya di masa Nabi.

Nah, perayaan maulid Nabi itu masuk wilayah ibadah ghair mahdhah. Tidak perlu dalil dan contoh dari Nabi. Paham? ^_^

Kita bayangkan saja, semisal Presiden kita Bapak Ir. H. Joko Widodo misalnya meminta rakyatnya untuk merayakan hari lahirnya maka kita akan anggap beliau pemimpin yang sombong dan mementingkan kebesaran dirinya saja.

Nah, karena keagungan dan kemuliaan akhlak Nabi Muhammad inilah yang tidak menjadikan beliau menyuruh para sahabatnya untuk merayakan hari kelahirannya. Selain ini masuk wilayah ghair mahdhah seperti yang saya sebutkan di atas tadi, Nabi bukan pemimpin yang arogan sehingga tidak mungkin ada perintah beliau soal maulid tapi juga tidak ada larangannya. Kita saja sebagai umat beliau Nabi Muhammad SAW yang harus tahu diri untuk menghormati kehadiran beliau Nabi Muhammad SAW di dunia ini.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Read More

Cinta Yang Dalam Tidak Butuh Dalil - Memaknai Kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad صلی اللہ علیہ وسلم

Leave a Comment


Untuk menghormati dirimu kamu tak butuh dalil.
Untuk merayakan hari kelahiranmu kamu tak tanya dalil.
Giliran untuk menghormati dan merayakan hari kelahiran Pemimpin agungmu Rasulullah SAW, kamu dengan gaya orang alim menanyakan hadis sahihnya.

** KH. Ahmad Mustofa Bisri



Kelahiran

Kalau kelahiran seorang anak, baik anak sendiri atau anak orang lain, telah membuat kita bahagia, maka tidak mungkin kita tidak turut berbahagia ketika Bunda Aminah melahirkan Ahmad al-Musthafa.

Ketika perayaan hari kelahiran kolega dan handai taulan kita rayakan dengan berbagai acara sebagai tanda suka cita, maka tidak mungkin kita tidak turut merayakan hari kelahiran Muhammad yang Allah dan Malaikat pun bershalawat untuknya.

Ketika kita rayakan hari milad kita sendiri, tanpa bertanya mana dalilnya, tidak mungkin kita tidak merayakan maulid Nabi karena sibuk bertanya mana dalilnya.

Ketika kita merayakan hari kelahiran raja dan ratu serta pembesar lainnya, bahkan merayakan dengan suka cita hari kemerdekaan bangsa kita, hari perkawinan kita, hari di saat kita bersyukur mendapat rejeki berupa kelulusan sekolah, atau keberhasilan lainnya, atau kita rayakan momen penting untuk mereka yang berjasa seperti hari ibu, hari guru, hari pahlawan, maka tidak mungkin kita masih meragukan untuk sejenak berbahagia merayakan hari kelahiran Sang Nabi -- yang jauh lebih berjasa, dan lebih pantas kita renungi makna kehadirannya.

Dan kita berdiri menyanyikan lagu kebangsaan, atau beranjak bangun dari kursi ketika tamu kita datang, dan berdiri dengan sikap hormat terhadap bendera merah-putih atau bertemu pejabat, maka masih herankah kita ketika saat bacaan maulid kita berdiri seolah menyambut kehadiran Sang Rasul?

Lihatlah generasi muda sekarang yang begitu memuja para artis yang datang ke suatu acara, mereka berdiri sejak lama, gemetar dan dag-dig-dug hendak melihat artis pujaannya, banyak yang membawa bunga untuk diberikan atau sekedar kertas untuk ditandatangani, syukur-syukur bisa selfie bareng artis pujaan -- mereka berteriak gembira bahkan menangis haru saat artis yang ditunggu tiba. Bagaimana kiranya kalau kita menunggu Sang Nabi hadir dalam perayaan maulid -- bagaimana perasaan kita? Tentu melebihi dag-dig-dug, keharuan dan kegembiraan bertemu artis, bukan? Lantas apa yang aneh dengan maulid?

Kita hanya perlu sejenak membuka hati kita untuk memahaminya; tidak perlu teori canggih atau argumen panjang-lebar. Ini soal hati. Ini soal penghormatan. Ini soal kebahagiaan. Ini soal cinta. Ya, ini soal hati yang terbuka untuk sebuah cinta kepada Sang Nabi. Begitu keraskah hati kita untuk bisa merasakan getar Muhammad dalam detak jantung kita?

Baluri kami dengan cintamu wahai Rasul
Agar sanggup kami tebarkan cintamu pada semesta yang penuh tipu muslihat ini
Genggam tangan kami wahai Rasul
Agar sanggup kami damaikan dunia yang tengah membara akibat merasa benar sendiri
Peluk kami dengan cahayamu wahai Rasul
Agar sanggup kami terangi kegelapan hati yang berlapis kecongkakan ini

Shalawat dan salam selalu tercurah untukmu
Marhaban
Marhaban
Marhaban
Read More

Yaa Sayyidi Yaa Rasulallah... Karena Kami Mencintai Ya Rasul, Kami Merindukanmu Kanjeng Nabiku

Leave a Comment
Sejujurnya saya sangat kecewa, sekaligus sakit hati ketika ada beberapa orang yang ahir-ahir ini mengatakan bid'ah, tidak benar, tidak ada tuntunannya, sesat kepada orang-orang yang memanggil Rosulullah dengan gelar "Sayyidina". Bahkan saya sendiri pun pernah dikatakan demikian oleh salang seorang sahabat saya. Ini yang membuat saya rihatin sekaligus sedih.

Ya Allah.. begitu mudah sesama muslim saling mem-bid'ah-kan, saling men-sesat-kan, bahkan yang paling parah saling meng-kafir-kan antar sesama muslim hanya karena berbeda pandangan, hanya karena berbeda pemikiran, hanya karena bukan satu ormas, bukan satu wajihah, tidak pada harokah yang sama, karena berbeda fikroh. Seakan yang benar adalah golongan "mereka" sendiri. Seakan syurga hanya untuk kelompo "mereka" sendiri. Dan inilah yang menjadikan saya sangat prihatin. Sangat sangat prihatin.

Dan memang ahir-ahir ini ada baberapa (dan semakin banyak) kelompok atau golongan yang merasa benar dan selalu manyalahkan golongan lain yang bukan masuk ke dalam golongan mereka, seperti yang saya sampaikan tadi. Pun demikian halnya "hanya" karena masalah pemanggilan Rasulullah dengan sebutan "Sayyidina" mereka mengatakan bid;ah, sesat, kepada kelompok lain yang sama-sama Islam, termasuk saya yang pernah dikatakan demikian.

Tak tahukah wahai saudaraku yang ku cintai, bahwa kami memanggil Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah dengan sebutan "Sayyidina" adalah karena kecintaan kami kepada beliau, karena kerinduan kami kepada beliau, karena dalamnya rasa penghormatan dan ta'dhim kami kepada beliau. Jika ada dari teman-teman yang mangatakan punya dalil yang mengatakan bahwa Rasulullah tidak ingin dipanggil dengan sebutan "Sayyidina", ini kami sampaikan.. Semoga semakin membuka pemahama kita.

Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

Sebagian orang membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau Maulana di depan nama Muhammad Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam, dengan alasan bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam sendiri yang menganjurkan kepada kita tanpa mengagung-agungkan di muka nama beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam yang berkaitan dengan kata-kata sayyid.

Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam Fis-Shalati Was-Salam ‘An Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) di depannya merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim yang mencintai beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam. Sebab kata tersebut menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau. Allah Subhanahu wa ta’aala memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi martabat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam, menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita menyebut nama orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam Allah Subhanahu wa ta’aala berfirman :

“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang di antara kalian”. (QS.An-Nur : 63).

Dalam tafsirnya mengenai ayat di atas ini Ash-Shawi mengatakan: Makna ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud oleh ayat tersebut di atas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam tanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam, baik di kala beliau masih hidup di dunia maupun setelah beliau kembali ke haribaan Allah Subhanahu wa ta’aala yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut berarti tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap demikian bukanlah sikap orang beriman.

Menurut Ibnu Jarir rahimahullah, dalam menafsirkan ayat tersebut, Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu (An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan mengagungkan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam

Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam atau memanggil beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulullah atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.

Dalam kitab Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut di atas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah Subhanahu wa ta’aala melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam dengan ucapan-ucapan tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyallah.

Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut di atas turun.

Di dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut di atas. Antara lain firman Allah Subhanahu wa ta’aala dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah Subhanahu wa ta’aala memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam, bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah Subhanahu wa ta’aala mengajarkan kepada kita tata krama yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.

Firman-firman Allah Subhanahu wa ta’aala tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah Subhanahu wa ta’aala mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut Sayyidina atau junjungan kita Muhammad Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam. Menyebut nama beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam tanpa diawali dengan kata yang menunjukkan penghormatan, seperti Sayyidina tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.

Dalam surat Aali-‘Imran: 39 Allah Subhanahu wa ta’aala menyebut Nabi Yahya alaihissalaam dengan predikat sayyid :

“…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.

Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah Subhanahu wa ta’aala dalam firman-Nya :

“Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (QS. Al-Ahzab: 67).

Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa ta’aala dalam surat Yusuf : 25 :

“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian kedua-duanya memergoki sayyid (suami) wanita itu di depan pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.

Demikian juga kata Maula yang berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya. Banyak terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman :

“…Hari (kiamat) di mana seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi manfaat apa pun kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka tidak akan tertolong”.

Juga dalam firman Allah Subhanahu wa ta’aala dalam Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah Subhanahu wa ta’aala, Rasul dan orang yang beriman.

Jadi kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseorang alasan apa yang dapat digunakan untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam.

Demikian pula soal penggunaan kata Maula. Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang Nabi yang diimani dan dicintainya dengan awalan sayyidina atau maulana?

Mengapa orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada para presiden, para raja atau menteri, atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ atau ‘Yang Terhormat’ tidak dituduh berbuat bid’ah? Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martabat beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam Atau sekurang-kurang hendak menyamakan kedudukan dan martabat beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam dengan manusia awam/biasa.

Sebagaimana kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam tanpa diawali dengan kata sayyidina dan tanpa dilanjutkan dengan kalimat sholawat (Shollallaah ‘alaih wa sallam). Menyebut nama Rasulullah dengan cara demikian menunjukkan sikap tak kenal hormat pada diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh orang-orang di luar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh kita tiru.

Banyak hadits-hadits shohih yang menggunakan kata sayyid, beberapa di antaranya ialah :

“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori dan Adz-Dzahabi).

Jadi kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya di sisi Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam tidak boleh disebut sayyid ?

Di dalam shohih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam memberitahu para sahabatnya, bahwa pada hari kiamat kelak Allah Subhanahu wa ta’aala akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid?” (alam ukrimuka wa usawwiduka?)

Makna hadits itu ialah, bahwa Allah Subhanahu wa ta’aala telah memberikan kemuliaan dan kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya? Kalau manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam tidak boleh disebut sayyid atau maula?

Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya

– Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii fis-shalah” artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam) sayyid di dalam sholat”. Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam untuk mempertahankan pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa di dalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja TUSAYYIDU. Tidak ada kemungkinan sama sekali Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallammengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuannya. Namun untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.

Dalam kitab Al-Hawi, atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjawab tegas: “Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.

Imam Al-Hafidz As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “

Imam Jalaluddin Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan : “Hadits itu sama sekali tidak benar”.

– Selain hadits palsu di atas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ; “Jangan mengagungkan aku (Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam) di masjid”.

Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengata- kan: “Itu bathil !”. Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah menyatakan tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.

Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungkan aku di masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam atau sebagai hadits beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam, jelas hal itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.

Mari kita lanjutkan tentang hadits-hadits shohih yang menggunakan kata sayyid berikut ini:

– Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda : “Aku sayyid anak Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang dipimpinnya.

Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling mulia di sisi Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.

– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda :

“Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”. Surmber riwayat lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim, mengatakan bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda : “Aku sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadits tersebut diberi makna oleh Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam sendiri dengan penjelasannya: "Pada hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya berada di bawah panjiku".

Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda : “Aku sayyid dua alam”.

– Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum di dalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah mengatakan bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.

– Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.

– Sebuah hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam diawali dengan kata sayyidina diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:

"Pada suatu hari kulihat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Shollallaah ‘alaih wa sallam beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulullah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’."

Riwayat hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam lebih suka kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.

Semua hadits tersebut di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam (al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang mencintai beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam

– Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda :

"Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu" artinya : “Barangsiapa aku menjadi maula-nya (pemimpinnya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”

– Dari hadits semuanya di atas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam adalah sayyidina dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga para ahlu-baitnya (keluarganya), semua adalah sayyidina. Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam pernah berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah ra :

"Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au sayyidata nisaai hadzihil ummati" artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”

– Dalam shohih Muslim hadits tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah ammaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaa’il mu’mininat au sayyidata nisaa’i hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”

– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :

“Amaa tardhiina an takuunii sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”

Demikianlah pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Imam Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shohih bahwa pada suatu hari Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid pemuda ahli surga”.

Berdasarkan hadits-hadits diatas itu kita menyebut puteri Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang cucu Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.

– Ketika Sa’ad bin Mu’adz radhiyallaahu ‘anhu diangkat oleh Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam berkata kepada orang-orang yang hadir: “Quumuu ilaa sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirilah menghormati sayyid (pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.

Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara beberapa fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya, karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.

Sekalipun –misalnya– Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam melarang para sahabatnya berdiri menghormati beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam, tetapi beliau sendiri malah memerintahkan mereka supaya berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang dikehendaki oleh Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam dengan larangan dan perintahnya mengenai soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara terang-terangan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak, si adik dan si murid harus merasa dirinya wajib menghormati ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian juga Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam sekalipun beliau menyadari kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah Subhanahu wa ta’aala, beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam, harus merasa wajib menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam

Allah Subhanahu wa ta’aala berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para isterinya adalah ibu-ibu mereka”.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua orang beriman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam lebih utama dari semua orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah Subhanahu wa ta’aala memberi hidayah kepada kita semua. Amin

– Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam, karena itu ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulullah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”

– Para sahabat Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama masing-masing, sebagai tanda saling hormat-menghormati dan harga-menghargai. Di dalam Al-Mustadrak Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu selalu mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam menyebutnya (Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu) sayyid’ “.

– Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendak- nya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena di dalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama pakar cara sebaik-baiknya membaca sholawat pada Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam yang tidak tercantum di sini.

Nah, kiranya cukuplah sudah uraian di atas mengenai penggunaan kata sayyidina atau maulana untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam. Setelah orang mengetahui banyak hadits Nabi yang menerangkan persoalan itu yakni menggunakan kata awalan sayyid, apakah masih ada yang bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut nama beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?

Apakah orang yang demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulullah) dan Habibu Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?

Bagaimana tercelanya orang yang berani membid’ahkan penyebutan sayyidina atau maulana di muka nama beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam? Yang lebih aneh lagi sekarang banyak di antara golongan pengingkar ini sendiri yang memanggil nama satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta juga agar mereka dipanggil sayyid di muka nama mereka !

Allahu a’lam bish-shawabi.. Semoga bermanfaat.
Read More

Eling-eling Siro Manungso

Leave a Comment

Lailahaillallah
Almalikul haqqul mubin
Muhammadurrosulullah
Shodiqul wa'dil amin


Ling-eling siro manungso
Temenono anggonmu ngaji
Mumpung durung den rawuhi
Malaikat juru pati

Lailahaillallah
Almalikul haqqul mubin
Muhammadurrosulullah
Shodiqul wa'dil amin


Luwih loro luwih susah
Rasane wong neng neroko
Klabang kores kolojengking
Klabang geni ulo geni
Rante geni gada geni
Cawisane wongkang duroko
Gumampang dawuh pangeran
Dasar tan manut parentah tuan

Lailahaillallah
Almalikul haqqul mubin
Muhammadurrosulullah
Shodiqul wa'dil amin


Luwih mulyo luwih mukti
Rasane wong neng suwargo
Pitung puluh widodari
Kasur babut den cawisi
Cawisane wongkang bekti
Dawuh pengeran kang moho suci
Mukmin lanang mukmin wadon
mukmin iku sedherek kula

Lailahaillallah
Almalikul haqqul mubin
Muhammadurrosulullah
Shodiqul wa'dil amin


Agami Islam Agami Kula
Kitab Qur'an panutan kula
mukmin lanang mukmin wadon
mukmin iku sedherek kula

Allahumma Sholli 'ala
Muhammad Syafi'il Anam
Wa alihi wa shohbihi
Wasallim 'ala dawaam



Read More
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home

Translate