Meneladani KH. Abdurrahman Wahid ( Gus Dur ) dalam Mensikapi Perayaan Natal

Leave a Comment

Luar biasa... Saya kembali teringat ucapan beliau yang menyatakan "Peran agama yang sesungguhnya adalah membuat orang sadar akan fakta bahwa dirinya merupakan bagian dari umat manusia dan alam semesta." Lalu ada lagi pernyataan beliau yang sangat luar biasa menurut saya, "Agama itu mengajarkan pesan-pesan damai, dan ekstrimis memutar balikkannya.". Juga satu lagi yang sangat luar biasa. Pesan beliau yang sangat populer di masyarakat, yaitu sebuah kalimat pesan yang tersurat di dalam sebuah lagu "Syiir tanpo Waton" yang menurut saya adalah salah satu karya terbesar beliau, "Akeh kang apal quran hadise, seneng ngafirke marang liyane, kafire dewe dak digatekke, yen isih kotor ati akale." (Banyak orang yang hafal Al-Qur'an dan Al-Hadist, akan tetapi ujung-ujungnya malah menyalahkan dan mengkafirkan orang lain dn merasa paling benar, padahal kesalahan dan "kekafiran" diri mereka tidak mereka perhatikan, itu karena masih kotornya hati dan akal mereka.).

Dan sudah barang tentu, hal-hal seperti itu (menyalahkan, memgkafirkan, dan merasa paling benar) ujung-ujungnya akan menjadikan pertentangan dan perpecahan di masyarakat. Bukan saja antar umat beragama, bahkan di dalam internal agama pun rawan pecah dan konflik.

Maka sebuah pemikiran luar biasa ketika beliau, Gus Dur, mengungkapkan peikirannya mengenai perayaan natal dan bagaimana sikap kita dalam mensikapi perayaan Natal ini. Sebagai mana kita tahu, umat Islam terutama, ahir-ahir ini dibuat gerah oleh sekelompok umat Islam pula yang mempermasalahkan pemberian ucapan selamat Natal kepada saudara-saudara kita umat Nasrani. Mereka berpendapat haram hukumnya mengucapkan Natal.

Saya tidak menyalahkan pendapat yang demikian, karena ada juga ulama-ulama terdahulu kita yang melakukan hal ini (mengharamkan pemberian ucapan selamat Natal). Tentu saja dengan dalil-dalil yang shahih pula, serta yang patut kita perhatikan yaitu : konteks. Konteks ulama melarang pengucapan selamat Natal pada saat itu, seperti yang telah kita bahas kemarin di sini.

Bagi teman-teman yang memang berpendapat tidak membolehkan atau mengharamkan ucapan Natal ini, saya tidak menyalahkan. Hanya saja saya menyarankan untuk tidak menimbulkan suasana yang provokatif serta tidak menyalah-nyalahkan umat Islam yang memberikan ucapan selamat Natal kepada umat Nasrani. Karena ini juga boleh dan banyak juga ulama yang melakukannya.

Mari kita menjadi umat yang lebih bijak dan santun. Sumonggo... Barangkali apa yang disampaikan Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid ) ini bisa membuka hati dan pemikiran kita, untuk lebih bijak dan dewasa dalam beragama dan mensikapi keberagaman.

***

Gus Dur pernah menulis artikel di Koran Suara Pembaruan pada 20 Desember 2003 berjudul: Harlah, Natal dan Maulid. Menurut Gus Dur , kata Natal yang menurut arti bahasa sama dengan kata harlah (hari kelahiran), hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia mempunyai arti khusus, lain dari yang digunakan secara umum -seperti dalam bidang kedokteran ada istilah perawatan pre-natal yang berarti “perawatan sebelum kelahiran”.

Dengan demikian, maksud istilah ‘Natal’ adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh ‘perawan suci’ Maryam. Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia.

Sedangkan Maulid, Gus Dur menjelaskan, adalah saat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pertama kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi atau dalam dunia barat dikenal sebagai Saladin, dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi. Tujuannya untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam perang Salib (Crusade).

Dia memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, enam abad setelah Rasulullah wafat. Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa’ud melarangnya di Saudi Arabia. Karya-karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi dan prosa untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad itu.

Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan, dua kata (Natal dan Maulid) mempunyai makna khusus, dan tidak bisa disamakan. Dalam bahasa teori Hukum Islam (fiqh) kata Maulid dan Natal adalah “kata yang lebih sempit maksudnya, dari apa yang diucapkan” (yuqlaqu al’am wa yuradu bihi al-khash). Penyebabnya adalah asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan manusia yang beragam. Artinya jelas, Natal dipakai orang-orang Kristiani, sedangkan Maulid dipakai orang-orang Islam.

Menurut Gus Dur , Natal dalam kitab suci Al-Qur'an disebut sebagai “yauma wulida (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: “kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)” (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: “Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku” (al-salamu ‘alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa.

Bahwa kemudian Nabi Isa ‘dijadikan’ Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah masalah lain lagi. Artinya, secara tidak langsung Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur’an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan.

“Jika penulis ( Gus Dur ) merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau (Isa) dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT.”

Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan, “Menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. Penulis ( Gus Dur ) menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannya bersama-sama.”

Dalam litelatur fiqih, Gus Dur mengimbuhkan, jika seorang muslim duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan ganjalan bagi kaum muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan dianggap turut berkebaktian yang sama.

“Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan, sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk menghormati kelahiran Isa al-Masih.”

Sumber: Gemasaba.Org
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

Post Comment

0 comments:

Post a Comment

Translate