(Masihkah) Jogja Berhati Nyaman?

Leave a Comment

Benar, ahirnya semakin bertanya-tanya, kenapa sekarang #Jogja tak ubahnya (hampir) seperti Jakarta? Kesan humanis, berwibawa, culture yg sangat kental, kekayaan dan aura heritage semakin terkikis oleh sampah visual, kemacetan jalan raya, gedung - mall - hotel dan bangunan2 tinggi lainnya yg semakin menjamur (seakan) tak terkendali. Kesan #metropolis semakin kuat. Jogjaku seakan kehilangan aura dan kewibawaanya. #JogjaBerhatiNyaman semoga tak hanya sekedar slogan.
Read More

Tentang Hari Santri Nasional

1 comment


Tentang hari santri, yang begitu gempita ini, barangkali pendapat lek saya Azwar Anas ini bisa menjadi perspektif lain yg sangat bagus saya kira. Bukan bermaksud sinis ataupun apatis terhadap hari santri, tp ini pandangan kritis sebagai koreksi diri atas kondisi kondisi yg terjadi pada bangsa ini, yg semakin terkotak-kotak dan berbangga diri menonjolkan identitas golongannya sendiri. Sehingga nilai2 kebangsaan, persatuan, dan kesatuan tanpa kita sadari akan semakin terkikis. Perlu diketahui, beliau Lek Azwar Anas ini adalah seorang NU tulen. Beliau adalah santri tulen sejak dalam kandungan istilahnya, karena apa? Karena beliau berasal dari keluarga santri dan orang tuanya adalah salah satu tokoh NU di Rembang.

Ini pendapat beliau, sangat inspiratif.

"Yang bikin saya kurang sepakat dengan Hari Santri adalah fungsinya itu sendiri, untuk apa alias nggo ngopo?
Dusunku kebetulan namanya Pesantren. Saya tidak begitu paham sejarahnya, mungkin saja itu kampungnya para santri. Buktinya memang banyak pondok, walau tidak besar dan punya kiyai-kiyai kesohor.
Kalau boleh saya bilang sih, pondok pesantren di sana sudah kayak home industry. Itu karena, nyaris setiap orang bisa mengajar ngaji, meskipun sebatas Qiroati. Kamu bisa belajar ngaji di mana saja bahkan di rumahmu sendiri. Jadi jangan heran, kalau ada bocah yang lebih dulu bisa baca Al-quran ketimbang abjad-abjad latin.

Kampungku tidak mengenal Hari Santri. Hari ya hari. Ada tujuh, kalau sekarang Kamis, besok Jumat, lusa Sabtu, tulat Ahad, dan tubin Senin, begitu seterusnya.
Tidak perlu kirab, tidak perlu mengucap selamat ke orang-orang, bocah-bocah setiap hari ya ngaji, setiap sore sudah harus mandi, bersarung, dan peci untuk ketemu kyai.

Jutru, saya khawatir dengan adanya Hari Santri di negeri Indonesia ini. Santri adalah golongan.Lawannya mungkin abangan. Terlalu banyak hari yang memihak sedikit golongan, sama saja mempetak-petakkan, yang kalau boleh saya bilang, membeda-bedakan. Ini bisa memicu orang untuk terlalu dan selalu bersikap primordiil. Sikap yang teramat sangat membanggakan budayanya sendiri tanpa mempertimbangkan budaya lain. Di Indonesia mental seperti itu sudah dimusnahkan sejak Majapahit.

Ini negara yang memiliki banyak budaya, saya kira orok pun tahu itu. Kalau mau bikin hari yang untuk diperingati, yang untuk diunggulkan, yang untuk diramaikan, ya yang sesuai hajat hidup semuanya.
Tanpa maksud sok tahu, biar bagaimanapun, Indonesia harus mengutamakan kepentingan bangsa bukan agama. Sebaliknya, agama tidak boleh berada di atas negara, karena negara ini berdiri bukan dengan satu agama, melainkan berbagai agama. Semoga kita tidak lupa. Lahumul fatihah!"
Read More
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home

Translate