seorang Nabi baru akan melakukan kesalahan/ sesaat setelah dianggap
salah oleh Allah, seketika itu juga turunlah Wahyu , karena Beliau
memang Ma'shum... . Jika seorang Wali melakukan kesalahan, segera beliau mendapatkan Ilham , karena memang beliau Mahfudz... . Jika seorang Murid melakukan kesalahan, gurunya pasti akan menegurnya...
inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata : ”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah
bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau
dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).”
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47
no:32)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau
pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat)
pendidikannya (sanad ilmu) ”
Lalu jika kita telah belajar agama
dari buku² terjemahan, sosmed, orang yg gk jelas, dan gogling internet
sesuai tendensi Akal sendiri.. nafsu pribadi...
Jika merujuk pada Al-Qur’an Alif Lam Mim merupakan satu diantara 14 huruf yang dinamakan dengan istilah “Huruf Muqaththa’ah”, ada 29 surat didalam Al-Qur’an yang diawali dengan huruf muqaththa’ah. Adapun Alif Lam Mim sendiri di dalam Al-Qur’an di ulang sebanyak 6 kali dengan menempati 6 surat yang berbeda-beda, 4 terdapat di dalam surat yang termasuk kategori surat makiyyah (yang diturunkan di Makkah) yaitu surat Al-Ankabut, Ar-Rum, Luqman, dan As-Sajdah, sedangkan 2 sisanya terdapat di dalam surat yang termasuk kategori surat madaniyyah (yang diturunkan di Madinah) yaitu Al-Baqarah dan Ali Imran.
Lalu bagaimana dengan film Alif Lam Mim (3) karya Anggy Umbara?
Sebelum film ini secara resmi dirilis serentak di seluruh bioskop Indonesia pada 01 Oktober 2015 lalu, khususnya setelah trailer film ini dilaunching saya mencoba memperhatikan beberapa komentar baik dari media sosial maupun mendengar sendiri secara langsung, ternyata masih banyak orang yang beranggapan film Alif Lam Mim tidak akan jauh beda layaknya film The Raid Gareth Evans yang mengusung Silat sebagai background filmnya, bahkan lucunya ketika saya nonton film Alim Lam Mim di Bioskop persis orang disebelah saya bicara pada kawannya film ini seperti filmnya Barry Prima. Namun semestinya setelah kita selesai menonton film Alim Lam Mim semua pandangan yang saya sebutkan tadi secara otomatis akan berubah.
Walaupun sama-sama mengusung Silat sebagai latar belakang dari filmnya, saya kira The Raid dan Alif Lam Mim jelas sangat jauh berbeda. The Raid yang murni sebagai film Action, sedangkan Alif Lam Mim merupakan mix 3 genre (action, drama, dan religi), dengan umbara bersaudara yaitu Anggy Umbara, Bounty Umbara dan Fajar Umbara sebagai penulis naskah skenarionya (the real 3). Silat dalam film Alif Lam Mim selain digambarkan sebagai budaya bangsa juga menunjukkan suatu identitas religius, santri dan silat (pesantren dan silat) dua perpaduan yang menjadi bagian panjang sejarah bangsa Indonesia.
Jika kita menengok sejarah sebut saja nama Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro, keduanya melibatkan santri dan kemampuan beladiri (silat) dalam perjuangannya melawan para penjajah, Tuanku Imam Bonjol yang terkenal dengan perang Padrinya di Sumatera Barat dan Pangeran Diponegoro dengan perang Jawanya. Bahkan banyak juga aliran silat yang lahir dan besar dilingkungan Pesantren.
Berangkat dari uraian di atas kiranya itulah yang akan menjadi fokus tulisan saya disini, lebih ingin mengupas apa saja kandungan nilai-nilai dakwah yang di sampaikan oleh Anggy Umbara melalui film Alif Lam Mim, dimana menurut saya Anggy dan Tim dibelakangnya telah berhasil menciptakan tren dakwah yang lain dari biasanya (baca: diluar mainstream), terlepas dari kekurangan dan kelebihan cara berdakwahnya ini saya secara pribadi sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh Anggy Umbara bahkan sejak filmnya yang pertama (mama cake).
Film Ali Lam Mim (3) bercerita tentang pesahabatan Alif, Herlam dan Mimbo yang tumbuh besar dan menempa latihan silat bersama dilingkungan pesantren Al-Ikhlas pimpinan Kyai Mukhlis. Ketiga memiliki cita-cita yang berbeda, Alif ingin menjadi aparat penegak hukum mengabdi pada Negara menangkap semua penjahat dan pembunuh hal ini dilatar belangkangi oleh kejadian pembunuhan terhadap kedua orang tuanya, Herlam ingin menjadi Jurnalis agar dengan tulisan-tulisannya dia bisa menyampaikan kebenaran sedangkan Mimbo ingin tetap mengabdi di pesantren menyebarkan kebaikan melalui agama dan mati khusnul khatimah.
Setelah beberapa lama akhirnya Alif Lam dan Mim masing-masing dapat mewujudkan cita-citanya, Alif menjadi penegak hukum dan tergabung dalam pasukan elit Detasemen 38 : 80-83, Lam menjadi Jurnalis di Libernesia dan Mim menjadi ustadz di Pondok Pesantren Al-Ikhlas. Ada kesamaan dari ketiganya walaupun mereka berbeda profesi, mereka sama-sama menjunjung tinggi nilai idealisme dan saya kira Anggy selaku sutradara bermaksud menyandarkan idealisme itu pada nilai-nilai Islam sebagaimana yang saya bahas sebelumnya Alif Lam dan Mim tumbuh bersama di Pesantren, ini akan terbukti jika kita sudah menyaksikan filmnya.
Film Alif Lam Min sendiri bersetting Jakarta pada tahun 2036, tercatat sebagai film laga futuristik pertama di Indonesia. Sebagai orang yang awam akan bidang sinematografi , menurut saya usaha Anggy Umbara dalam menvisualkan imaginasinya tentang kondisi Jakarta pada tahun 2036 cukup mumpuni dan menarik perhatian, terlebih tentang gambaran Gadget dan teknologi yang digunakan oleh para pemainnya.
Pada tahun 2036 diceritakan Indonesia telah ada dalam kondisi damai, setelah sebelumnya terjadi rentetan peristiwa dan kekacauan yang ditimbulkan oleh kelompok radikal sorban merah dan sorban hitam hingga peristiwa pembumihangusan kelompok radikal tersebut oleh aparat penegak hukum, sampai akhirnya revolusi berakhir pada tahun 2026, pihak yang saling bertentangan akhirnya mencapai kesepakatan. Aparat Negara hanya diizinkan menggunakan peluru karet dalam memberantas kriminalitas dan pada saat inilah kemampuan beladiri dibutuhkan, para penegak hukum dan penjahat mempelajari seni ini untuk bertahan hidup.
Yang menarik dalam film Alif Lam Mim digambarkan pada tahun 2036, negara dan masyarakat kebanyakan telah menganut faham liberalisme. Agama mulai ditinggalkan dan dianggap kuno, agama dianggap memicu kekerasan dan menghalangi kebebasan, bahkan ritual ibadah seperti sholat menjadi bahan olok-olok, Islam yang tadinya mayoritas menjadi minoritas.
Jika dalam film pertamanya (Mama Cake) Anggy Umbara berdakwah tanpa banyak menonjolkan atribut keagamaan, dalam wawancaranya di salah satu media ketika membahas mengenai film “Mama Cake” Anggy sendiri mengatakan “film religi tidak harus melulu mengenai atribut”. Namun berbeda dengan film Mama Cake, menurut pandangan saya dalam film Alif Lam Mim Anggy sangat menonjolkan Atribut keagamaan bahkan menjadikan Islam menjadi subjek pembahasan dalam content filmnya.
Detasemen 38 : 80-83 adalah tempat Alif bernaung sebagai pasukan elit dibawah pimpinan Kolonel Mason. Ya Detasemen 38 : 80-83 adakah yang aneh dengan angka tersebut mengapa harus 38 : 80-83? Sebagai ciri khas dari setiap film Anggy yang selalu menyisipkan angka-angka dengan maksud dan tujuan tertentu. saya kira inilah rahasianya, angka 38 : 80-83 merujuk pada surat ke 38 dalam al-Qur’an yaitu surat Shad ayat 80-83. “Allah berfirman: Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan harinya (hari kiamat), Iblis menjawab: Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka”. (QS 38 : 80-83).
Empat ayat al-Qur’an dalam surat Shad tersebut menerangkan tentang dialog Iblis dengan Allah SWT, agar mereka dihidupkan hingga hari kiamat dengan tujuan untuk menyesatkan anak keturunan Adam yang pada gilirannya menemani iblis di neraka jahanam. Ini sesuai dengan sebuah adegan yang tanpa diduga dimana ketika Alif diracuni di sebuah restoran, muncul tokoh misterius yang diperankan oleh Tanta Ginting dan ternyata dia adalah orang yang ada dibalik setiap keputusan yang diambil oleh Kolonel Mason. Dalam salah satu dialognya dia berkata pada Alif “Pasti kamu berpendapat kami ini Iblis Lif, membuat perang dan kekacauan membunuhi semua orang. Kami memang Iblis Lif, kehadiran kami ini diperlukan karena hal buruk itu perlu untuk menciptaksebetulan kebaikan, kamilah yang mengendalikan”
Merekalah yang menciptakan kekacauan dan mereka jugalah yang muncul sebagai penyelesainya itulah Detasemen 38 : 80-83 dalam film Alif Lam Mim, mungkin berdasarkan surat shad ayat 80-83 itu jugalah tokoh pimpinan pesantren Al-Ikhlas yang ahli dalam bidang botani dan kedokteran oleh Anggy diberi nama Kyai Mukhlis, pesantren Al-Ikhlas pimpinan Kyia Mukhlis telah berhasil mewujudkan lingkungan yang Rahmatan lil alamin dimana di lingkungan pesantren tersebut semua mazhab berkumpul hidup berdampingan dengan mengedepankan toleransi. Oleh karena itulah akhirnya sebuah konspirasi diciptakan oleh Detasemen 38 : 80-83 untuk menjadikan Kyai Mukhlis sebagai tersangka teroris.
Dalam film ini jika diperhatikan banyak sekali unsur ajaran Islam yang disisipkan oleh Anggy dalam setiap adegannya, namun berkat kelihaian Anggy dalam mengemasnya film ini jauh dari kesan menceramahi atau bahkan mendakwahi. Misalnya kata salam yang menjadi ciri khas orang Islam “Assalamualikum” sepanjang film ini akan banyak kita temui, dan masih banyak lagi ajaran Islam serta dialog-dialog cerdas berkualitas yang kental akan kritik sosial ciri khas Umbara bersaudara kita temui dalam film ini jika kita sudah menyaksikannya. Menarik untuk kita renungi ketika Anggy menutup film ini dengan sebuah Hadits, “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu”.
Pada akhirnya saya dapat kesimpulan bahwa film Alif Lam Mim karya Anggay Umbara ini merupakan pengejewantahan dari Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 54, “Mereka orang-orang Kafir itu membuat makar, dan Allah membalas makar mereka. Dan Allah lah sebaik-baiknya pembuat makar”. Dan surat At-Tariq ayat 15 & 16, “Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan Aku pun merencanakan tipu daya pula dengan sebenar-benarnya”. Wallahu A’lam
Mau lihat filmnya? Sumonggo,,, ini dia...
Kalau mau download, bisa dengan klik link INI atau INI atau INI
Inna lillahi wa inna ilaihi raji”un. Terkait dengan insiden di Sarinah, Jakarta Pusat.. Saya turut prihatin dan sangat sedih juga ada sedikit kekhawatiran. Kita doakan semoga para korban meninggal diberikan kemuliaan di sisi-Nya, keluarga yang ditinggalkannya diberikan keiklasan dan kesabaran. Semoga pemerintah segera bisa mengatasi masalah ini dengan sebaik-baiknya. Dan mari, kita seluruh bangsa dan warga negara Indonesia mendoakan yang terbaik untuk negeri kita tercinta ini.
Mengutip doa Syekh Al-Qaradhawi yang saya ambil dari postingan Syekh Yusuf Al-Amien terkait insiden ini: اللهم احفظ تركيا و إندونيسيا المسلمتان من شر الأشرار، وكيد الفجار، ورد سهام المتآمرين عليهما إلى نحورهم، واشغلهم بأنفسهم، وقنا شرهم بما شئت وكيف شئت
"Ya Allah, jagalah Turki dan Indonesia, yang keduanya adalah Negeri Muslim, dari kejahatan dan tipu daya orang-orang jahat. Kembalikan makar orang-orang menginginkan keburukan bagi keduanya kepada mereka sendiri. Sibukkan mereka (orang-orang jahat itu) dengan perselisihan di antara mereka sendiri. Dan selamatkanlah kami dari kejahatan mereka dengan apa yang Engkau kehendaki dan dengan cara yang Engkau kehendaki."
Aamiin... Aamiin.. Aamiin.. Ya Robbi Robbal 'Alamiin.
Ada apa dengan Kota YOGYAKARTA saat ini? Kota ini sudah semakin kehilangan ke-khas-annya. Semakin maraknya pembangunan hotel serta pusat-pusat perbelanjaan menyebabkan Kota Jogja semakin padat dan ruwet. Pembangunan hotel demi hotel serta banyaknya pusat perbelanjaan modern (mall dan sejenisnya) tidak banyak memberikan keuntungan bagi warga. Namun sebaliknya, justru lebih banyak menimbulkan dampak negatif yang tidak memberikan keuntungan bagi warga Kota Yogyakarta. Lihat saja, saat ini justru warga sangat kesulitan untuk menemukan RTH (Ruang Terbuka Hijau) untuk tempat untuk berinteraksi dan bersosialisasi, atau katakanlah untuk sekedar melepaskan penat dari setiap rutinitas kerja ataupun sekolah/kuliah. Bahkan ada wilayah di Kota Jogja yang kesulitan mendapatkan air bersih di musim kemarau karena begitu banyaknya pembangunan hotel di wilayah tersebut.
Kemudian lihat pula kondisi lalu lintas yang semakin padat dan semrawut, tidak hanya ketika musim libur tiba atau pada jam-jam tertentu saja. Bahkan hampir setiap hari terjadi kepadatan lalu lintas di jalanan Kota Jogja ini. Lihat saja di salah satu ruas jalan dimana ada Mall A*plaz di sana, juga di ruas jalan di depan L**po Mall Jogja. Hampir setiap saat macet dan padat. Belum lagi ada H***ono Mall yang katanya adalah Mall terbesar se DIY-Jateng yang sangat pula berpotensi menimbulkan kemacetan di kawasan Jalan Lingkar Utara tersebut. Dan saat ini sudah menunggu pula "lahirnya" mall-mall baru, condotel, serta apartemen-apartemen baru yang saya lihat semakin menjamur, bak cendawa di musim hujan ini. Teman-teman pasti sudah melihat, bahkan di tengah-tengah Kota Jogja, di sebelah pusat pemerintahan Kota Jogja tengah pula dibangun sebuah bangunan megah yang entah akan jadi apa itu nanti, bisa hotel, bisa apartemen, bisa pula Mall, entahlah. Tapi yang pasti akan pula menimbulkan dampak yang sama.
Banyak pemukiman warga yang tergusur karena tanah digunakan untuk pembangunan beragam hotel dan pusat perbelanjaan ini. Bahkan salah seorang rekan mengajar saya, mengatakan ada satu wilayah di Kota Yogyakarta sebanyak satu RW "hilang" tergusur oleh pembangunan sebuah hotel. Akibatnya? Entahlah, tapi salah satu analisa beliau yang kebetulan juga sebagai guru konseling, dampak sosial yang ditimbulkan juga tidak main-main, banyak di antara mereka yang tersisih dari tempat tinggalnya ke daerah-daerah pinggiran dan ahirnya menjadi pekerja "serabutan" yang ujung-ujungnya melakukan tindak kriminal.
Tentu saja jika diadakan kajian secara menyeluruh, banyak sekali dampak negatif dari semakin banyaknya hotel, condotel, apartemen, pusat perbelanjaan modern, dan entah apalagi itu istilah dan penamaannya. Mulai dari dampak lingkungan, dampak sosial, dampak ekonomi, dan masih banyak lagi. Jujur saja, berapa banyak masyarakat asli Kota Jogja yang turut menikmati hotel dan "bangunan-bangunan mewah" itu? Paling-paling yang menikmati adalah mereka-mereka kaum borjuis yang datang dari luar Kota Jogja. Saya tidak mengatakan sepenuhnya buruk terhadap adanya pembangunan hotel dan sebagainya itu di kota Jogja ini. Akan tetapi yang saya kritisi adalah "seakan-akan" pembangunan itu dilakukan secara "brutal" tanpa memperhatikan aspek perencanaan dan tata kota yang ada. Oke, katakanlah jika itu memang sudah dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan yang ada di sistem birokrasi dan perundangan yang berlakuk di kota Jogja ini. Akan tetapi, aspek histori, kebudayaan, serta kondisi sosial masyarakat Jogja harus pula diperhatikan. Jangan sampai apa yang dikatakan (dulu) Kota Jogja berhati nyaman, berbudaya, berkesenian, humanis, ramah, kota pendidikan, pusat kebudayaan Jawa, miniatur nusantara, the city of tolerance, dan sebagainya hanya akan tinggal cerita, tertutup oleh bangunan dan hutan beton yang ahirnya merubah Jogja menjadi kota metropolis tak ubahnya seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Ups... salah. Bahkan Jakarta, Bandung, Surabaya pun saat ini berlomba-lomba membuat taman-taman serta ruang terbuka hijau untuk masyarakatnya. Lha ini Jogja kok malah membangun hutan beton dan pohon baja yang bertebaran di mana-mana. Duuh...
Apakah masyarakat diam saja dengan hal ini? O.. tidak. Sudah banyak masyarakat yang memberikan sindiran, kritikan dan sebagainya dari masyarakat Jogja (ataupun masyarakat yang sangat perhatian dengan Jogja). Kita masih ingat beberapa waktu yang lalu Bapak Sumbo Tinarbuko yang menulis sebuah artikel Opini di SKH Kedaulatan Rakyat yang berjudul : "YOGjakarta, Metropolitan Yogyakarta". Ini adalah salah satu dari sekian kritik masyarakat sebagai bentuk kecintaan mereka pada kota Jogja ini. Akan tetapi semua itu seakan tetap saja tidak berpengaruh kepada kebijakan pemerintah kota dalam hal ini. Lantas, bisa kita bayangkan, apa jadinya Kota Jogja ini dalam beberapa tahun ke depan? Masihkah Kota Jogja ini menjadi sebuah kota yang (benar-benar) berhati nyaman? Masihkan Jogja menjadi Kota yang istimewa yang penuh dengan budaya, seni, keramahan, humanis... atau justru menjadi kota metropilis nan hedonis, egois, dan materealistis...?
Kemudian, jika dikatakan pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan modern yang besar-besar itu demi mendongkrak kemajuan sektor pariwisata di DIY, apakah benar wisatawan lebih tertarik dengan pemandangan-pemandangan bangunan-bangunan tinggi di jalanan yang padat dan macet? Bukan saya tidak setuju ataupun apatis dengan kemajuan dan modernisasi, bukan saya menentang sepenuhnya adanya hotel dan berbagai pusat perbelanjaan modern. Hanya saja saat ini terasa sedemikian membabi-buta pembangunan-pembangunan tersebut di Kota Yogyakarta. Saya benar-benar khawatir jika nantinya (bahkan saat ini sudah mulai terasa) suasana nyaman, humanis, berbudaya, dan berhati nyamannya kota ini hilang, tergerus kapitalisme dan apa yang dikatakan "modernisasi" hingga ahirnya mengubah Kota Yogyakarta menjadi "Yok.. Jakarta"
Kami mohon, kembalikan Kota Yogyakarta yang istimewa dan Berhati Nyaman.
Coba bersama kita kembali (mengenang) kenyamanan Kota Yogyakarta....
** Sisipan lirik lagu Kla Project : Yogyakarta
Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja
Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu ...
Walau kini kau t'lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Assalamu'alaikum, Saya ingin mengajukan pertanyaan. Bagaimana hukum menyingkat gelar kepada Nabi atau kepada Allah, seperti Muhammad saw dan Allah swt. Terimakasih. (Ferry – Via Email)
Saya tidak menemukan nashsh – baik al-Qur’an maupuh Hadits – yang secara tegas (sharîh) melarang menyingkat tulisan subhânahu wa ta‘âlâ menjadi SWT. (atau swt.) dan shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjadi SAW. (atau saw.). Saya juga belum menemukan nashsh yang secara tegas mengharuskan untuk menulis ucapan tersebut secara panjang apa adanya.
Sejumlah pakar tafsir yang tergabung dalam Tim Penyusunan Tafsir Ringkas Kementerian Agama RI yang saat ini sedang menggarap penyusunan tafsir tersebut dalam salah satu pertemuannya sepakat untuk menulis subhânahu wa ta‘âlâ dengan singkatan SWT. dan shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjadi SAW. dalam buku tafsir ringkas yang sedang disusun. Itu lebih karena alasan-alasan teknis.
Di dalam Mushaf al-Qur’an sendiri, kita juga menemukan sejumlah tulisan yang disingkat. Tanda-tanda waqf (perhentian), misalnya. Ada huruf mîm (م) yang merupakan singkatan dari lâzim: harus berhenti. Artinya, pada ayat yang bertanda م, kita harus berhenti. Ada huruf jîm (ج) yang merupakan singkatan dari jâ’iz: boleh berhenti, boleh teruskan. Ada huruf lâm alif (لا) yang berarti larangan (‘jangan’): kependekan dari jangan berhenti pada ayat yang bertanda itu. Ada shâd lâm yâ (صلى) yang merupakan singkatan dari al-washlu awlâ: terus membaca (tidak berhenti) lebih utama daripada berhenti, meskipun berhenti juga tidak dilarang. Ada lagi qâf lâm yâ (قلى) yang merupakan singkatan dari al-waqfu awlâ: berhenti lebih utama meskipun kalau kita tidak berhenti juga boleh. Dan sebagainya. Jadi, sekali lagi, ini lebih menyangkut persoalan teknis.
Di dalam literatur-literatur klasik Islam berbahasa Arab, kita juga tidak jarang menemukan tulisan shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam bentuk singkatan. Ada yang hanya dilambangkan dengan satu huruf (shâd), ada yang dengan empat huruf (shâd, lâm, ‘ain, dan mîm). Demikian pula dengan radhiyallâhu ‘anhu yang sering disingkat dengan satu huruf (dhâd). Ulama-ulama dahulu yang menulis singkatan seperti itu, saya percaya, bukan orang yang bodoh!
Memang ada sebagian ulama kontemporer yang melarang penyingkatan seperti itu, dengan dalih ucapan-ucapan seperti itu adalah doa yang tidak seharusnya disingkat.
Hemat saya, sejauh kita (jika sebagai penulis) tidak bermaksud mengaburkan subtansi dari singkatan-singkatan seperti itu, dan sejauh kita (sebagai pembaca) membacanya atau melafalkannya secara lengkap, penulisan singkatan seperti itu sah-sah saja karena alasan pertimbangan teknis tadi. Apalagi memang tidak ditemukan larangannya. Karena, hal itu tidak mengurangi substansi dari kalimat-kalimat itu.
Kita, misalnya, ketika membaca tulisan “Rasulullah saw.” tetap membacanya dengan “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam” secara utuh. Tulisan “Assalamualaikum wr. wb.” juga kita baca lengkap “Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh”. Dengan begitu, kandungan doa yang terdapat dalam ucapan-ucapan itu tetap kita baca utuh walaupun tulisannya singkat.