Ya Robbi, Jagalah NU Kami...

2 comments

Saya sadar, saya bukan kader NU yang "sejati". Saya tidak pernah aktif di keorganisasian NU, PMII, Banser, ataupun keorganisasian berbasis NU yang lain. Saya bukanlah seorang santri tulen yang ngaji di pesantren-pesantren ternama di kalangan masyarakat Nahdliyin. Saya bukan anak atau keluarga yang menjadi pemuka NU.

Saya hanyalah seseorang yang merasa ikut memiliki NU, handarbeni NU. Karena saya lahir, besar, tumbuh dan hidup di kalangan masyarakat yang memegang nilai-nilai NU. Saya ngaji di mushola yang diajar oleh salah seorang kyai NU di kampung saya. Saya juga ngaji (lagi) di sebuah TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) yang bernama TPA Manbaush Sholihin yang juga diasuh oleh salah seorang Kyai NU, Bpk Kyai Ruhani Roudli, AH. Di kampung saya terbiasa ikut yasinan, tahlilal, manaqiban, barzanji/diba'an, dan lain-lain sebagai mana masyarakat di kampung saya lakukan. Karena NU pula saya tahu tentang ibadah, baca Qur'an, tentang islam, tentang akhlak walaupun itu semua masih sangat sedikit (karena kebodohan saya).

Benar, sekali lagi, benar saya bukan orang NU yang benar-benar NU, seperti teman-teman saya yang banyak dari NU yang mereka benar-benar NU. Mereka aktif di keorganisasian NU, nyatri di pesantren-pesantren ternama NU, pinter baca kitab kuning, paham tentang segala seluk beluk ke-NU-an. Saya? Bukan apa-apa. Saya hanya memiliki kekaguman dan kerinduan kepada si mbah Kyai Hasyim Asyari, Mbah Moen, Gus Sholah, Gus Mus, Kyai Anwar Zahid...

Akan tetapi, walaupun seperti itu, barangkali rasa memiliki, roso handarbeni NU saya sama atau bahkan lebih besar daripada yang dirasakan teman-teman saya dan orang lain bahkan. Saya merasa tidak rela ketika NU disudutkan, NU dicaci maki, tradisi NU disalah-salahkan dan dibid'ah-bid'ahkan. Saya pun tidak rela jika NU kini dicap oleh (sebagian) orang sebagai organisasi yang telah tersusupi JIL (Jaringan Islam LIberal), tersusupi Syi'ah dan sebagainya.

Benar, saya tidak rela. Dan hati saya semakin sakit dan sedih ketika banyak melihat di pemberitaan bahwa momentum Muktamar NU yang ke-33 di Jombang diwarnai isu-isu dan berita negatif. Berita kegaduhan, perpecahan, money politic, dijaga pasukan Jin, bahkan berita tentang goyang oplosan di arena muktamar (astaghfirullah....) dan entah apalagi tersebar begitu luas dan booming di media massa. Saya tidak rela ketika berita-berita negatif itu semua dijadikan bahan olokan di media massa dan di media sosial.

Terahir saya membaca di sebuah harian, Gus Mus (KH Musthofa Bisri) sampai harus menangis dan hendak mencium kaki para mukatmirin demi menenangkan kegaduhan peserta muktamar.

Ya Allah... Entah apa yang tengah terjadi di dalam NU yang saya cintai ini, saya tidak tahu. Ya Robbi... jagalah NU kami ini, selamatkanlah NU kami ini dari orang-orang yang buruk dan ingin merusak NU kami ini.

... saya menangis karena NU yang selama ini dicitrakan sebagai organisasi keagamaan, panutan penuh dengan akhlakul karimah, yang sering mengkritik praktik-praktik tak terpuji dari pihak lain ternyata digambarkan di media massa begitu buruknya. Saya malu kepada Allah, malu pada KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri dan para pendahulu kita. Lebih-lebih ketika saya disodori koran yang headlinenya ‘Muktamar NU Gaduh, Muktamar Muhammadiyah Teduh’.

... Di tanah ini terbujur kiai-kiai kita, di sini NU didirikan apa kita mau meruntuhkan di sini juga, Naudzubillah, saya mohon dengan kerendahan hati Anda melepasksan semuanya, dan memikirkan Allah dan pendiri kita.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Translate